Restoran China, Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China telah berimbas pada stok daging AS di Negeri Tirai Bambu. Sebuah restoran bergaya Amerika di Beijing, Home Plate BBQ, terapksa mencetak ulang menu lantaran bahan utama daging sapi dari AS sudah tidak lagi tersedia.

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang dimulai sejak era Presiden Donald Trump kembali memakan korban. Kali ini, sektor yang terkena dampaknya bukan industri teknologi atau otomotif, melainkan restoran China yang tersebar di berbagai kota di Amerika Serikat.
Seiring dengan meningkatnya ketegangan antara dua negara adidaya tersebut, efek domino dari kebijakan tarif dan pembatasan impor mulai dirasakan oleh bisnis kecil, termasuk restoran China di Amerika. Banyak pelaku usaha kuliner asal Tiongkok mengaku kesulitan bertahan di tengah meningkatnya biaya bahan baku, stigma sosial, hingga penurunan jumlah pelanggan.
Tarif Impor Bahan Makanan Naik Tajam
Salah satu dampak paling signifikan dari perang dagang Trump adalah naiknya tarif impor bahan makanan dari Tiongkok. Banyak restoran China yang mengandalkan bahan khusus dari negeri asalnya, seperti saus, bumbu rempah, hingga teh tradisional. Dengan tarif impor yang lebih tinggi, biaya operasional pun melonjak drastis.
“Dulu kami bisa impor saus Sichuan dengan harga murah. Sekarang harganya dua kali lipat. Kalau tidak naikkan harga menu, kami rugi,” ujar Liu Cheng, pemilik restoran di San Francisco.
Stigma Anti-China Semakin Kuat
Selain faktor ekonomi, aspek sosial juga turut memperburuk kondisi. Sejak perang dagang dimulai, ditambah dengan sentimen anti-Asia yang sempat melonjak selama pandemi COVID-19, banyak restoran China mengalami penurunan kunjungan. Pelanggan lokal yang sebelumnya setia, kini mulai enggan datang karena sentimen politik.
“Kadang pelanggan tanya, ‘Apakah ini dimasak dengan bahan dari China?’ Mereka takut tanpa alasan yang jelas,” kata Mei Ling, pemilik restoran di Texas.
Dukungan Minim dari Pemerintah AS
Banyak pelaku usaha berharap adanya subsidi atau dukungan dari pemerintah AS untuk mempertahankan bisnis mereka. Namun kenyataannya, restoran China menjadi korban perang dagang yang sering terlupakan, meski kontribusinya besar terhadap perekonomian lokal.
“Selama ini, restoran tiongkok menyediakan lapangan pekerjaan dan makanan terjangkau untuk komunitas. Tapi kami tidak mendapat perlindungan,” keluh seorang pemilik restoran di New York.
Q & A Dengan Topik Pembahasan Restoran Cina Korban Baru Perang Dang TrumpDengan Narasumber DR Susan Li, Ahli Ekonomi Dan Perdagangan International Universitas Stanford, Michael Tan, Konsultan Bisnis Restoran Dan Pengamat Industri Kuliner, Dan James Beck Ahli Makanan Amerika Dan Sejarah Kuliner Food Heritage Foundation.
Apa pengaruh utama dari perang dagang terhadap restoran China di AS?
Dr. Susan Li, Ahli Ekonomi dan Perdagangan Internasional (Universitas Stanford):
“Restoran China mengandalkan banyak bahan impor seperti saus tiram, cuka hitam, dan rempah-rempah tertentu yang sulit didapatkan dari pasar lokal. Ketika tarif impor meningkat karena perang dagang, biaya operasional restoran pun ikut naik. Ini mendorong banyak pemilik restoran untuk menaikkan harga atau mengganti bahan, yang pada akhirnya mempengaruhi cita rasa otentik.”
Apakah restoran China mengalami penurunan jumlah pelanggan karena hal ini?
Michael Tan, Konsultan Bisnis Restoran dan Pengamat Industri Kuliner:
“Ya, dalam dua tahun terakhir ada tren penurunan kunjungan ke restoran China, khususnya yang berada di kota-kota kecil. Selain karena harga, ada juga efek psikologis dari narasi negatif soal Tiongkok dalam politik AS. Sayangnya, restoran China yang sudah menjadi bagian dari budaya Amerika ikut terdampak.”
Bagaimana para pemilik restoran menyiasati kenaikan biaya akibat tarif?
Michael Tan:
“Beberapa strategi yang dilakukan adalah mengurangi ukuran porsi, menggunakan substitusi bahan lokal, hingga mengurangi menu yang sulit dipertahankan secara biaya. Namun, hal ini menantang karena pelanggan bisa merasakan perbedaan rasa. Jadi ini semacam dilema—efisiensi atau kualitas.”
Apakah dampak ini hanya terasa di restoran China, atau juga ke restoran Asia lain?
Dr. Susan Li:
“Restoran Korea, Jepang, hingga Thailand juga terdampak, tapi restoran China paling dominan karena mereka punya jaringan rantai pasok yang sangat tergantung pada barang impor dari Tiongkok. Selain itu, restoran China juga banyak yang merupakan usaha keluarga yang lebih rentan terhadap tekanan ekonomi.”
Bagaimana pandangan dari sisi budaya makanan Amerika?
James Beck, Ahli Makanan Amerika dan Sejarah Kuliner (Food Heritage Foundation):
“Ironisnya, Chinese food seperti General Tso’s Chicken atau Egg Roll sudah dianggap sebagai bagian dari budaya makanan Amerika. Ketika restoran-restoran ini berjuang atau tutup, itu bukan hanya kehilangan bisnis, tapi juga kehilangan bagian dari sejarah imigran dan kuliner Amerika.”
Adakah kemungkinan pulih pasca perang dagang?
Dr. Susan Li:
“Tergantung pada kebijakan administrasi berikutnya. Jika tarif dihapus atau dinegosiasikan ulang, maka bisa ada pemulihan. Namun dalam jangka pendek, banyak restoran yang sudah tutup mungkin tidak akan kembali. Jadi kita bicara soal dampak jangka panjang pada ekosistem restoran imigran.”
Apa solusi terbaik untuk mendukung restoran China saat ini?
Michael Tan:
“Konsumen bisa membantu dengan tetap mendukung restoran lokal, mencoba menu baru yang mungkin disesuaikan dengan bahan lokal, dan menyadari bahwa perubahan rasa bukan karena kurangnya kualitas, tapi karena tantangan logistik dan ekonomi yang mereka hadapi.”
Kesimpulan
Perang dagang AS vs Tiongkok bukan hanya soal teknologi dan manufaktur. Bisnis kecil seperti restoran pun turut merasakan tekanan besar. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin banyak restoran China akan gulung tikar, dan dampaknya bisa meluas ke sektor ekonomi lainnya.
kadobet
Tags: Restoran China